Kuratorial :  I Gede Arya Sucitra

All humanity is passion; without passion, religion, history, novels, art would be ineffectual.
Honorė de Balzac (1799-1850)

Pada suatu malam di pertengahan November 2015, datanglah setiga lelaki sebaya ke rumah. Kemudian saya kenali mereka sosok perupa muda seangkatan yang dulu pernah menjadi mahasiswa saya kala mengawali menjadi dosen muda di Seni Murni FSR ISI Yogyakarta. Satunya pendiam, ahlinya mematung yakni Ruswanto, setelahnya lelaki hitam manis yang lihai melukis dan memainkan gamelan Bali, I Kadek Yudi Astawan, dan terakhir M. Fikri Muaz sosok renyah tawa, hobinya nyablon dan berkarya grafis cukil kayu. Perjumpaan awal ini pun menjadi menarik karena disela diskusi dan ngobrol ngalur ngidul hingga tengah malam, Jogjakarta diguncang gempa. Walau gempa sesaat, kita sempat terdiam lalu lekas berlari ke luar teras. Gempa tidak lagi membuat kami takut tapi malah tertawa.
Ada yang menarik dalam semangat pameran CENGLU yang mereka gagas bertiga. Alur awalnya semenjak 2012 diniatkan pameran angkatan mahasiswa 2004 namun seiring berbagai alasan antar teman akhirnya agenda terpasung dalam ketidakjelasan. Jengkel bercampur gemas oleh (barangkali) ketidaktertarikan, ketidakniatan, ketidakpedean, ketidakmilitanan atas kekompakan angkatan 2004 Jurusan Seni Murni FSR ISI Yogyakarta mengadakan sebuah pameran seni rupa. Kasus ini memperjelas bahwa pilihan menjadikan perupa dengan karya seni sebagai sumber penghidupan dan kehidupan jiwa bukanlah perkara gampang dan mudah. Memperjuangkan gagasan dan pengalaman pribadi hingga mampu memanifestasikan karya seni dan dihadirkan ke wajah publik seni, sesungguhnya butuh nyali dan pengorbanan. Karena sudah jelas jika dalam hitungan bisnis, bisnis jual-beli karya seni dalam pameran belum tentu ada profit pasti di depan mata itulah sebabnya banyak perupa yang hingga kini masih dalam taraf ekonomi yang megap-megap (jika tidak ingin dikatakan miskin atau sangat sederhana). Namun yang penting digarisbawahi, penciptaan karya seni dengan segala kerumitan persoalannya adalah penanda jiwa jaman dan artefak penting dalam investasi waktu ke depan.
Setarikan waktu dan tekanan berkesenian, mereka bertiga inilah yang kemudian meretas segala kegalauan dan pesimisme angkatan dan muncul sebagai pengobar hasrat. “Siapa tahu dari bertiga lalu menjadi beramai seangkatan”. Kali ini saya harus mengutip kata bijak Mario Teguh, “Anak muda memang banyak galaunya. Tapi dia juga ahli tertawa rame walau hatinya menangis. Maka tertawa sajalah. Dunia ini lebih menghargaimu saat bergembira dari pada saat kepo mengeluhkan kesedihanmu.” Perupa CENGLU ini sudah jelas para bujangan yang galaunya tiada terbatas. Banyak hal yang mereka pikirkan di luar kebutuhan dirinya. Mereka sadar apa yang menggelisahkan dan bagaimana menertawakannya. Sekaligus menemukan pelepas yang monumental melalui ekspresi karya seni. Dalam teori kreativitas menurut Robert J. Senberg WD., proses kreatif penciptaan karya seni salah satunya melalui tahapan kesadaran terhadap lingkungan hidup materiil, lingkungan hidup sosial, dan lingkungan hidup simbolis. Ketertarikan terhadap subject matter tersebut merupakan pengalaman yang tidak sekedar diendapkan dalam pikiran, tetapi dengan kecerdasannya dipikirkan untuk melahirkan persepsi. Nah, melalui ideologi berkarya dan kesadaran latar pengalaman mereka inilah yang kepo untuk dibaca.

SUBLIMASI RASA
Kesadaran memaknai kesedihan, kegamangan, dan penderitaan ‘rasa’ atas esensi kehidupan sebagian besar meliputi kekaryaan mereka. Terutamanya Fikri dan Kadek Yudi aka Koyo mengungkapkan dilema yang dialami dalam latar budaya, kerusakan alam dan pertumbuhan sosial ekonomi di sekitarnya. Ruswanto cenderung membicarakan aspek humanisme dan religiusitas manusia dalam gerak karyanya. Psikologi Sigmund Freud menyatakan sejarah masa lalu dapat dianggap sebagai residu pengalaman masa kecil, ikut memberi andil dalam membentuk wujud ide dan kepribadian kolektif kita hari ini sebagai bangsa. Secara umum, persoalan pengalaman yang dialami perupa CENGLU senampak serupa. Hal ini disebabkan oleh kesamaan usia, pengalaman berkembang di masyarakat dan pendidikan. Kesadaran perupa CENGLU yang paling menakutkan dalam keberkembangan manusia adalah timbulnya sikap pesimis dan skeptis. Sikap ini muncul bisa disebabkan oleh kekhawatiran untuk jatuh dalam penderitaan, ketidakpuasan hingga keputusasaan. Anak muda yang takut menderita ketika dia masih dipenuhi energi dan rasa ingin tahu yang luas akan jatuh dalam relung kemalasan, stagnasi, pesimistis dan apatis.
Topik ‘penderitaan-kesusahan’ ini sedang menggurita dipelataran benak banyak anak muda. Dia bisa berwujud dalam berbagai wajah, jika tidak dipahami dan disadari maka akan menyesatkan ke dalam ruang mental yang merusak. Penderitaan dikatakan sebagai kodrat manusia, artinya sudah menjadi konsekuensi manusia hidup, bahwa manusia hidup ditakdirkan bukan hanya untuk bahagia, melainkan juga menderita. Karena itu manusia hidup tidak boleh pesimis, yang menganggap hidup sebagai rangkaian penderitaan.
Manusia harus optimis, ia harus berusaha mengatasi kesulitan hidup. Orang yang mengalami penderitaan mungkin akan memperoleh pengaruh bemacam-macam dan berimbas dalam sikap perilaku. Sikap yang timbul dapat berupa sikap positif ataupun sikap negatif. Sikap negatif misalnya penyesalan karena tidak bahagia, sikap kecewa, putus asa, ingin bunuh diri. Sikap positif yaitu sikap optimis mengatasi penderitaan hidup, bahwa hidup bukan rangkaian penderitaan, melainkan perjuangan membebaskan diri dari penderitaan, dan penderitaan itu adalah hanya bagian dari kehidupan. Apabila sikap negatif dan sikap positif ini dikomunikasikan oleh para perupa kepada para penikmat seni, maka mereka akan memberikan penilaiannya. Penilaian itu dapat berupa kemauan untuk mengadakan perubahan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat dengan tujuan perbaikan keadaan. Keadaan yang sudah tidak sesuai ditinggalkan dan diganti dengan keadaan yang lebih sesuai. Keadaan yang berupa hambatan harus disingkirkan untuk menghadirkan semangat dan hasrat kemajuan. Leo Tolstoi salah seorang penganut teori pengungkapan menyatakan bahwa melalui seni, seorang atau beberapa orang secara sadar dengan perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang-orang lain sehingga mereka kejangkitan perasaan-perasaan ini dan juga mengalaminya. Jika ini berhasil, maka karya seni baru menemukan kegunaannya sebagai penggerak ‘rasa’, penumbuh inspirasi, dan pendobrak perubahan.
Kekaryaan Koyo beranjak dari kesadaran ruang hidup pengalaman masa kecil, modal budaya, alam, dan kapitalisme. Arus pemikiran kritis Koyo sangat dalam, dan cenderung kontemplatif. Perjalanan karya masa awal dipenuhi oleh pergulatan figur-figur yang saling berebut menumbuhkan kesadaran eksplisit bagi penikmat. Seiring kedalaman memahami esensi penciptaan karya dan simbol-simbol kekaryaan, Koyo menyublimkan pengalamannya tersebut ke dalam karya lukisan abstraksi yang sarat pesan. Pilihan abstrak ini membangun kesadaran yang esensial baginya karena dengan goresan yang lugas dan bebas, lukisan akan menemukan daya ungkap murninya atas segala jawaban diri. Seperti lukisan yang berseri ‘Sawah’ mengungkapkan kesedihan dan kemarahan atas perubahan bentuk tanah sawah yang serentak berkembang menjadi sawah beton perumahan dan hunian villa. Tanah sawah tidak lagi dapat dikenali, hanya dapat dikenang dengan corak tanahnya yang gembur coklat dengan serat jerami atau batang padi yang menumpuk. Pesan mendalam dalam karyanya berhasrat menyentil kita akan kesadaran diri atas Pertiwi dan kelangsungan hidup manusia yang tidak bisa lepas dari nasi (padi) namun tidak memiliki pemahaman dalam merawat dan mengembangkannya.
Perenungan Ruswanto dalam karya patungnya menumbuhkan kesadaran atas pemahaman humanisme yang meletakkan hubungan antar manusia dan posisi penting manusia dalam menyusun kehidupannya. Humanisme yang dibangun Ruswanto juga tidak lepas dari kesadaran sekuler yang menyajikan duniawi sebagai bagian sublimasi hasrat. Pesan-pesan simbolis patung Ruswanto mudah dikenali karena bergaya realis dan bahkan cenderung bersifat religius. Patungnya memiliki korelasi yang kuat atas kesan gestur patung Yesus serta karakter dewa-dewi Hindu. Baginya dengan langgam realis akan lebih memudahkan menumbuhkan kesadaran terhadap penikmat karya sekaligus memudahkannya dalam memverbalkan kegelisahannya.
Karya Grafis M. Fikri Muaz memiliki pola yang sederhana, dengan teknik cukil kayu dan warna hitam putih. Di balik kesederhanaan teknik dan warna yang dihadirkan, persoalan yang diusung Fikri ternyata memiliki kompleksitas dalam memetakan diri. Sebagai pribadi yang ‘mudah bosan’, Fikri cenderung menghayati peran keseniannya dengan meleburkan diri berkegiatan sosial di masyarakat, di mana seni diperuntukkan untuk membangun kebersamaan, guyub, dan bermanfaat kolektif. Fikri dengan fasih dapat menceritakan sisi kepedihan hatinya pada keadaan miris orang lain dan seakan itu membawanya pada periode perenungan. Perenungan yang membangun spirit bagi orang lain yang bahkan cenderung melupakan kebutuhannya sendiri. Karyanya menjadi sangat reflektif dengan bahasa argumentatif sederhana namun sarat pesan.
Sajian 18 karya dari perupa CENGLU ini bisa menjadi oase kesadaran bersama dalam memaknai serpihan-serpihan masalah, kegalauan, keegoisan yang bergelimpangan di sekitar kita. Pernyataan diri mereka yang tersublimasi melalui kekuatan rasa ini bisa menjadi penunjuk jalan terang untuk lebih lanjut menyibak perasaan-perasaan ketidakberdayaan, kesedihan, pesimistis keseharian. Ya, menjadi Perupa muda haruslah galau, resah, marah, meradang namun melalui jalan kreatif yang mencerahkan, memotivasi dan menjadi jalan kehidupan. Bertiga mereka bergandengan hasrat, bertiga mereka berboncengan dengan estetika motor seni patung, lukis, grafis, serta bertiga mereka membuka kesadaran kita yang mulai tertutupi rasa sangsi, skeptis dan egosentris.

Gamping Kidul, Januari 2016

I Gede Arya Sucitra
(Pelukis dan Dosen FSR ISI Yogyakarta)