Oleh : I Made Susanta Dwitanaya
Hal yang paling esensial dari lahirnya sebuah karya seni rupa adalah karena adanya sebuah proses olah “rasa” yang dicurahkan dan diekspresikan sang kreator dalam karyanya. Seni rupa telah mengalami perjalanan yang panjang dan menjadi bagian dari peradaban manusia itu sendiri. Sehingga usia seni rupa tak berlebihan jika dikatakan setua peradaban umat manusia itu sendiri. Dalam perjalanannya menjadi bagian dari peradaban umat manusia seni rupa sendiri mengalami berbagai macam perubahan baik dalam konsep maupun fungsinya. Dari yang terkait dengan aspek religiomagis pada masyarakat tradisional hingga menjadi ekspresi individu dalam masyarakat modern. Dari yang menjadi pratima ( benda sakral di pura) hingga menjadi bagian dari komoditi yang bernilai ekonomi dalam lingkaran art world. Pada rentang perjalanan yang panjang itu pula persoalan ” rasa” merupakan persoalan yang tetap menarik diperbincangkan karena secara esensial persoalan ” rasa” ini tetap menjadi hal yang paling mendasar dari hadirnya sebuah karya seni rupa.
Lima orang perupa muda “kekinian” Bali yang tergabung dalam kelompok #PK yakni Jaya Putra, NPAAW, Nova, Putra Indrawan, dan “Rako” Suarnata, hadir untuk kesekian kalinya sejak dua tahun terakhir ke ibu kota seni rupa indonesia Yogyakarta untuj berpameran bersama kali ini di Indie Art House dan mengusung judul yang meminjam istilah dalam bahasa “kekinian” anak anak muda yakni ” Baper” . Baper ( bawa perasaan) adalah sebuah judul yang dimagsuskan menjadi pintu masuk untuk menelusuri gagasan yang hendak para perupa muda ini sampaikan kehadapan apresiatornya yakni perkara “rasa” dalam karya seni. Kelima orang perupa muda ini mencoba mengajukan pertanyaan pertanyaan pada diri mereka seputar relevansi bicara soal ” rasa” dalam karya seni rupa di tengah hiruk pikuk percepatan teknologi yang juga pasti berpengaruh pada pola pola penciptaan karya seni rupa. Persoalan sensibilitas dalam mengolah ” rasa” dalam menghadirkan karya seni misalnya mengalami proses dan dinamikanya dalam era kini. Lalu bagaimanakah kelima orang perupa muda ini menghadirkan akumulasi dari proses olah “rasa” dalam karya – karya mereka?
Menilik karya karya yang hadir pun sebagian besar apa yang ditampilkan para perupa muda ini masih menunjukkan kepercayaan mereka pada persoalan sensibilitas ” rasa” dalam karya mereka, sebagian besar karya yang dihadirkan adalah karya yang tetap dalam kerangka epistimologi lukisan dengan upaya untuk mengangkat dan mengemvangkan potensi potensi kesenilukisan didalamnya. Apa yang ditampiljan Ngakan Agus Artha Wijaya (NPAAW) dan Rako Suarnata misalnya, menunjukkan betapa mereka berdua tampak asik menggali kemungkinan kemungkinan baru pada sebuah karya seni lukis. NPAAW yang sedang mempertanyakan persepsi dan ilusi tentang ruang dan bidang dalam seni lukis melalui pembengkokan objek binatang sedangkan rako tampaknya sedang terus menggali dan mengali potensi format ke-persegi-an dalam sebuah bidang karya. Dekde Jaya Putra
juga suntuk dengan eksplorasinya pada pemotongan bidang gambar mengikuti struktur bentuk objek dan seperti kecendrungan karya sebelumnya ia masih terus bereksplorasi dengan melibatkan teknologi semisal video sebagai medium karyanya, tapi toh elemen dasarnya tetaplah karya seni rupa berupa lukisan.
Sedangkan Putra Indrawan dan Putu Nova hadir dengan karya karya yang bereksplorasi dengan medium di luar kanvas. Putu Nova misalnya menghadirkan teknik ukiran pada papan kayu yang kemudian di cat sesuai dengan warna objek yang ada dalam ukiran tersebut. Apa yang dilakukan Nova dengan memulas ukiran dengan cat ini mengingatkan kita pada tradisi ukiran di Bali. Jika di barat, karakteristik medium sangat ditonjolkan dalam sebuah karya seni , sehingga kayu harus tampil dengan karakteristiknya, tanpa perlu di pulas cat, maka di Bali persoalan karakteristik medium ini tidak berlaku sepenuhnya. Dalam tradisi Bali sah saja sebuah ukiran kayu di pulas dengan cat hingga karakteristik kayunya menjadi tertu
Sedangkan Putra Indrawan hadir denfan karya – karya mixed medianya, Ia masih suntuk dalam eksplorasi mempertemukan dua mediumbataunlebih yang berbeda karakter, misalnya bagaimana kayu dan plat logam coba disandingkan srhingga menghadirkan potensi potensi image yang imajinatif.
Demikianlah sekelumit pembacaan saya terhadap apa yang coba dibagikan oleh kelima orang sahabat saya di kelompok #PK ini dalam karya karya yang mereka tampilkan di oeristiwa pameran ini. Sebagai perupa muda yang masih berproses dan bertumbuh tentu saja “keberanian” dan semangat mereka dalam melakukan proses presentasi capaian artistik ke luar ” kandang” mereka di Bali menuju kota Yogyakarta merupakan halmyang patut kita apresiasi bersama. Keinginan untuk memperluas jejaring apresiasi selalu akan membuka ruang dialog yang lebih luas pula antara mereka, karya, dan apresiatornya. Semoga “Baper” benar benar sesuai harapan mereka merepresentasikan apa yang hendak mereka paparkan dalam karya karya dan peristiwa pameran ini yakni mempersoalkan tentang peran sentral rasa dalam proses kreatif dan berkesenian mereka. Semoga pula karya karya mereka dapat membawa perasaan aptesiatornya untuk larut dalam proses dialog yang intim dan cair.
Tampaksiring, Bali – Juni 2016