Catatan Kuratorial

“MOOI IN(DIE) BALI”
SDI YOGYAKARTA 2015

Kuratorial :  I Gede Arya Sucitra

Geliat perkembangan dan pergulatan seni rupa di Indonesia tidak bisa terlepas dari pengaruh Barat. Baik dalam ideologi pengetahuan Barat maupun pendekatan estetika modernnya. Edward Said dalam bukunya Orientalism (1979) menjelaskan bagaimana Barat secara intelektual telah menciptakan dunia Timur. Gambaran Barat tentang negeri‐negeri (jajahannya) di Timur begitu romantik. Sejalan dengan pendekatan Said, membicarakan Mooi Indie, berarti ‘Hindia Molek’. Sederhananya, Mooi Indie adalah penggambaran alam dan masyarakat Hindia Belanda secara damai, tenang dan harmonis. Meskipun warisannya hidup sampai hari ini, Mooi Indie jelas ciptaan kolonial. Jika nasionalisme Indonesia bersifat romantik, itulah bukti bahwa Mooi Indie turut mewarnainya.

Lekat diingatan kita, bagaimana pada masa kekuasaan kolonial Belanda, tanah Jawa dieksplorasi besar-besaran dan terjadi pergolakan. Semua itu dilakukan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya bagi Belanda untuk membangun negeri Belanda dan kemakmuran masyarakatnya. Di sisi lain, desa-desa yang dulunya tampak asri dan tenang menjadi penuh pergolakan (jika tidak ingin dikatakan tertekan dan tersiksa secara materi dan mental).

Uniknya, desa‐desa yang bergejolak dan resah itu sering digambarkan secara romantis, tenang dan damai. Inilah titik tolak Mooi Indie, yaitu menggambarkan kenyataan di negeri jajahan secara cantik‐molek. Kenyataan itu jelas telah diawetkan dan dibekukan sehingga tercipta suatu gaya, konsep dan maszhab bernama Mooi Indie. Mazhab ini kemudian menyatu dengan proyek kolonialisme secara keseluruhan. Namun demikian, Mooi Indie juga merupakan romantisme para sarjana kulit putih. Mereka ingin menciptakan Timur yang eksotis sekaligus menguntungkan.

Sudjojono adalah pengkritik pedas konsep Mooi Indie yang pertama. Kritikan datang dari S. Sudjojono, yang menyebutnya sebagai lukisan mooi indie. Lewat tulisan-tulisannya, Sudjojono mengkritik lukisan mooi indie yang serbamolek melenakan masyarakat bumiputera dari keadaan sesungguhnya: terjajah. Dia menganggap lukisan mooi indie tak lebih hanya untuk “menghibur” orang-orang asing.

Namun anehnya, di kemudian hari Sudjojono juga melukis dengan gaya itu. Mooi Indie adalah pemandangan alam, sawah dan gunung‐gunung biru yang bermandikan sinar matahari. Berdasarkan penelitian saya, laut, pantai dan cahaya bulan purnama juga kerap digambarkan. Figurnya sering perempuan cantik dengan selendang berwarna merah. Semuanya sangat indah, menyenangkan, tenang dan damai. Inilah Hindia untuk para turis dan pensiunan pejabat Belanda. Gunung, “sawah dan pohon kelapa (atau bambu) merupakan trinitas suci lukisan Mooi Indie,” kata Sudjojono.

Kita mengenal dan mengecap Bali salah satu oleh wisata dunia dianggap surganya dunia, pulau bidadari, pulau seribu pura, pulaunya para dewa-dewa, hingga paradise created. Semua katagori yang disebutkan tadi merupakan salah satu sisi romantik yang mengarah pada pemahaman kemolekan yang indah yakni mooi indie.

Pameran SDI Yogyakarta pada momen ini berupaya mencerna kembali Bali yang di mooi indie kan dalam persepsi penikmat Bali secara global bahkan dalam benak orang (budaya) Bali sendiri. Alhasil, Bali dengan segala atribut budayanya seakan tetap dipertahankan (oleh kepentingan kapitalisme dan pendukung imperalisme baru) menjadi eksotik, unik, tenang, misterius dan juga cagar wisata budaya.

Apakah Bali akan menjadi (tetap) Bali yang diindahkan, disurgakan atau akan menjadi budaya yang dibekukan dan menghilangkan rasa kebalian yang menjadi bara pemusnah budaya masyarakat Bali. Alhasil, intropeksi kemudian Bali menjadi Mooi in di Bali atau Mooi in (die) Bali?

Kegelisahan dan juga keresahan atas kondisi Bali terkini dengan segala panorama keindahan alam; terasering, subak, debur ombak, deretan pohon kelapa dan bamboo hingga latar upacara keagamaannya akan menjadi seperti apa di ujung sangkakala kapitalisme yang menggempur mental dan keimanan atas kuasa uang (orientasi keuntungan) pada masyarakat Bali.

Pada titik ini, pameran ini menawarkan kesadaran kembali dan karya seni yang akan diusung merupakan bentuk intropeksi atas kedirian Bali yang indah dan molek (mooi) dengan persentuhan kekuatan kapitalisme Barat dan pemikiran cendikiawannya atas kuasa Budaya Bali mempertahankan diri. Apakah wajah Bali akan tetap mengakar pada kekuatan budayanya dan etika hidup masyarakatnya atau akan berangsur mati (die) dalam pinangan dan rayuan kemolekan kapitalisme.