Kuratorial pameran tunggal lukisan I Kadek Yudi Astawan

        Beruang – Meruang

 

The artist must have something to say, for mastery over form is not his goal but rather the adapting of form to its inner meaning.Wassily Kandinsky, 1911.

“PT Bor…
Jual petak
Kamu aku sudah jual
Kamu kamu juga
Kamu juga sudah
Yang lain sudah jual
PT Peer…”

I Kadek Yudi Astawan (Koyo), Kuningnya IDE, 2016

Barisan sajak dari karya ‘Kuningnya IDE, 2016”, di atas adalah sinistik atas ulah manusia ‘mencintai’ pertiwi, cinta yang menggadaikan warisan leluhur, cinta yang menghambakan materi, cinta yang memuja kemilau kemewahan kemudian berakhir menjadi kekosongan lalu kelak kembali pada petak kecil di selasar tanah merah. Menelisik lebih dalam karya Lukisan yang dihadirkan I Kadek Yudi Astawan (Koyo) dalam pameran tunggalnya yang bertajuk ‘Beruang Meruang’, merupakan cara  kita menyentil dan menyadarkan diri bahwa persoalan kritis yang sedang dialami dan menghanyutkan manusia adalah menipisnya kesadaran diri (spiritualitas) dan memudarnya refleksi diri.

Pameran ini merupakan pemberhentian sejenak Kadek Koyo (demikian saya biasa memanggilnya) yang mempertanyakan kembali kesiapan manusia (khususnya manusia Bali) dalam mengenali dirinya dan kekuatan alam menuju persoalan modernitas, globalisasi, konsumerisme hingga sikap-sikap arogan kapitalis yang kemudian memengaruhi pola pokir, sikap dan etika pergaulan dalam kehidupan berbudaya sehari-hari. Pada karyanya kita akan melihat abstraksi ironi, sinistik, paradoksal dalam tegangan berbagai karakter ikon, teks yang terkubur dalam ritus petak ‘tanah’ yang kadang dipenuhi pertanyaan, umpatan, sinisme hingga teguran. Ada apa sebetulnya dengan repetisi ‘tanah’ ala Kadek Koyo yang tercerabut, terkoyak dan tergores ilalang dalam tebaran tubuhnya?

Me [ruang] Rumput

Membaca lukisan Kadek Koyo adalah semacam sikap reflektif ‘merumput’.Istilah ‘merumput’ sering saya ujarkan kepada Kadek Koyo ketika dia berkarya disebabkan sejak beberapa tahun terakhir, teknis kekaryaan dan objek visualnya mengeksplorasi representasi rumput, ilalang,suket (bahasa Jawa),sumi (bahasa Bali).Merumput bisa berkonotasi seseorang yang mencari rumput sebagai pakan ternak, atau seekor sapi/kambing yang sedang makan rumput di hamparan tanah lapang. Tapi bukan perkara aktivitas tersebut yang dihadirkan oleh Kadek Koyo, rumputnya merupakan simbolis pertiwi; kedekatan dengan alam, perenungan kedekatan dengan hidup yang sederhana, kesadaran akan hal terkecil dan substantif; kembali ke akar rumput, kembali ke akar (dasar) kehidupan.Rumput tidak akan bisa tumbuh dan berkembang tanpa tanah. Tanahlah yang memberikan ruang hidup rumput untuk berelasi dengan benda lain di atas dan sekelilingnya.

Imaji rerumputan dalam abstraksi petak tanah Kadek Koyotidaklah menyajikan dan menjanjikan keindahan dalam bayangan kesadaran visual naturalis namun membuka imaji ruang inspirasi ‘baru’sehingga ketika ‘berdialog’ pada karya dan konsep rupanya serentak mengantarkan saya menelusup sejenak ke ruang memori baik sebagai orang Bali maupun sebagai cara memahami universalitasdiri sendiriyang dekat dan faktual. Mengapa demikian, karena isu global yang diangkat oleh Kadek Koyo adalah representasi ruang keseharian manusia yang berkaitan dengan gejala ekonomi, politik, sosial budaya, lingkungan hidup hingga spiritualitas.Karyanya membicarakan gejala yang konkrit, berangkat dari fakta persoalan yang nyata yang bisa menjadi penerang sebab-akibat perkara keseharian yang bermula dari ukuran ruang; bidang; petak yakni tanah.

Konsep kuratorial “Beruang Meruang” mengambil kerangka dasar masalah tentang ‘ruang’.Ruang memiliki pengertian yang sangat relatif, apalagi jika sudah mengalami suatu penambahan seperti ‘ruang-ruangan’, ‘meruang’, ‘beruang’, ‘teruang’, dan sebagainya. Sebagaimana dalam kamus ruang dinyatakan sebagai: (1) sela-sela antara dua (deret) tiang atau sela-sela antara empat tiang (di bawah kolong rumah); (2) rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang; (3) rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada; (4) petak dalam buah (durian, petai); pangsa; me-ruang : menyucikan mayat (dengan jalan mengeluarkan kotoran dari dalam perut); membersihkan. Dalam pandangan Yi-Fu Tuan dalam bukunya Space and Place: The Experiential Perspective, 2001 mengatakan ruang adalah sebuah lokasi yang relatif. Tuan menyatakan bahwa ruang didefinisikan sesuai dengan pengalaman keruangan.Ruang, karena relativitas lokasinya, dinyatakan sebagai sebuah kebebasan.Sebuah ruang bebas didefinisikan berdasarkan masing-masing pengalaman setiap orang. Pada pengertian lain, ‘ruang’ merupakan tempat bagi komponen-komponen lingkungan hidup dalam melakukan setiap proses, yaitu saling mempengaruhi (interaksi), saling berhubungan (interelasi), dan saling ketergantungan (interdependensi).

Maka, ‘ruang’ yang dalam korelasi gagasan kuratorial ini tidak hanya merujuk pada pengertiannya sebagai objek pada keadaan dirinya sendiri, tetapi juga sebagai keterangan yang menjelaskan berbagai keadaan dari persoalan lain yang berdasar atas pengalaman empirik masing-masing.Dengan kata lain, karya Kadek Koyo menyulih rupa ‘ruang’ sebagai sebuah citra keadaan yang relatif, abstrak, dan simbolis.Dengan demikian melalui penelusuran ‘ruang’ yang terabstrasikan dalam wujud ‘tanah’ setidaknya menunjukkan dua penelusuran gagasan.Pertama, memahami sumber persoalan yang menjadi sebab utama dan yang menentukan keadaan ‘ruang’ tersebut.Kedua, memahami masalah ‘ruang’ sebagai hal yang terepresentasi sebagai citra tanah.

Meraba arah ruang

Sebelas lukisan yang dihadirkan dalam pameran ini, terlihat koneksi reflektif yang kuat sosok Kadek Koyo memahami persoalan diri dan bagaimana menyingkapi problemasi ‘ruang’ tersebut.Ruang citraan Kadek Koyo memiliki kesadaran introspeksi memori  dialektika antara masa lalu, masa kini, dan masa depan dan tentunya ini pun kemudian menyeruakkan ruang ketidaksadaran yang selama ini terpendam dalam batas-batas etika berbudayanya. Sigmund Freud ahli psikoanalisa, mengungkapkan bahwa angan-angan dan emosi-emosi turun dari permukaan pikiran sadar dan kemudian masuk ke alam bawah sadar. Masuknya mereka ke alam bawah sadar dapat dipahami dengan dua cara. Pertama, mereka masuk secara diam-diam dalam bentuk transkrip pengalaman masa lalu, atau kedua, transkrip pengalaman masa lalu itu dipaksa masuk karena sebab dan alasan-alasan tertentu.Lalu bagaimana Kadek Koyo meraba gagasan karyanya dan bagaimana interpretasi personalnya bisa digagas penonton?

Ide tentang  ‘tanah-rumput’ sebagai lahan representasi dalam konteks kesadaran estetik Kadek Koyo yang ditampilkan dalam repetisi-repetisi karyanya.Pengulangan/repetisi merupakan salah satu strateginya dalam menanamkan visual yang lebih dalam terhadap kelekatan memori bawah sadar.Seperti yang dinyatakan Kadek Koyo dalam obrolan santai kami disela-sela melukis “…  bentuk-bentuk yang hadir dalam lukisan adalah ‘deposit’ yang ditanamkan oleh dialog saya dengan sesuatu yang digagas. Khusus dalam pameran tunggal ini, saya diganggu oleh pemandangan tanah (tanah sawah produktif) yang sedang diperkosa alat-alat berat kapital.‘Pemerkosaan’ itu membekaskan (serupa) cakaran, goresan, yang menghadirkan repetisi. Kapan repetisi ini berakhir(?) hal inilah yang membuat saya memposisikan diri sebagai tanah, menenggelamkan diri guna merasakan sakitnya goresan ‘tanpa permisi’ itu”. Ketercengangan atas fenomena kerusakan alam (tanah) dan rasa sakit kultural yang dirasakan Kadek Koyo membangkitkan kesadaran bahwa keinginan hawa nafsu (materi) manusia tidak akan dapat terpenuhi sepanjang masa, dia harus menemukan ‘pelarian yang bijaksana’ untuk menyadari keterbatasan dirinya. Berkarya seni bagi Kadek Koyo menjadi ‘pelarian yang bijaksana’ yang menimbulkan kesadaran estetik dan etika.

Kesadaran estetik yang dimaksud melingkupi keyakinan tentang peran penting ekspresi seni dan relasi-interaksionalnya dalam kelangsungan kehidupan sosial budaya. Filsuf Georg Lucacs menegaskan bahwa estetika, dan kesadaran estetika adalah suatu manifest objektifikasi dari ‘dunia’ yang bersifat independen melalui suatu mekanisme produksi yang menerus dan mensejarah, yang menyempurnakan kemungkinan dan perkembangan bentuk kesadaran diri manusia serta proses refleksi diri.Kesadaran ini tentunya membutuhkan pemahaman nilai-nilai subjektif yang inheren dalam etika budaya (Bali) dan pengenalan terus menerus.Nilai-nilai subyektif yang dikelola dan direfleksikan Kadek Koyo, selalu berusaha dikaitkan atau bersinergi dengan kosmologi kultural; ada keberpihakan, simpati, empati,ketakutan, juga ketakjuban yang berbaur di dalamnya.Berkaitan dengan hal tersebut, persoalan estetika kerupaan karya Kadek Koyo hanya menjadi lapisan permukaan pemicu dan inspirasi untuk melangkah ke dalam tujuan yang lebih lanjut yakni sebuah wujud dengan lapisan-lapisan dimensi nilai dan makna (inner meaning), pemaknaan atas konsep dasar dari persoalan kosmologi kultural tersebut.

Teks-teks, ikon dan simbol-simbol kultural yang terekam dalam lapisan warna-warna bidangnya merupakan penguat dimensi atas hubungan interaksi simbolik ide-idenya dan menjadi satu kebulatan makna.Di sisi lain, pada kanvas karya Kadek Koyo identik dengan pembatasan ekspresi abstraksi tanah dengan bidang putih. Tentu ini menjadi pertanyaan, ada apa dengan warna putih, nilai apa yang ingin diajukan oleh pelukis sehingga menjadi penting untuk selalu hadir dalam ruang kanvasnya? Atas posisi ‘putih’ sebagai penetral keriuhan, Kadek Koyo menyatakan, “sebentuk perwalian ruang reflektif, ruang spasial, ruang ketiga, ruang awal dan ruang akhir yang sarat dengan nilai filosofis.Maksud saya adalah, putih sebagai alarm pengingat, mengingatkan saya dalam menjalani kehidupan harus mendasari segala hal dengan ‘putih’.Manusia dilahirkan ‘putih’, kemudian manusia mengisinya dengan berbagai warna kehidupan, namun mengenal banyak warna dalam konteks kehidupan bukanlah dosa, jika kita mendasarinya dengan tujuan kembali ke ‘putih’.Saya berasumsi bahwa putih bukanlah rasa, sebagaimana kita menikmati warna-warni penuh ‘cita rasa’.Putih adalah hakikat, hakikat kesadaran dan penyadaran.”Sebagaimana Kandinsky sebagai bapaknya teori abstrak ekspresionisme mengatakan: “hubungan dalam seni tidak selalu menjadi bagian dari kebentukan luar, tetapi didasarkan atas simpati dalam diri pada unsur makna (meaning). Kadang-kadang, mungkin sering, kesamaan pada bentuk luar akan muncul. Tapi dalam melacak hubungan spiritual hanya makna batin yang menjadi pertimbangannya.”

Sebagai langkah saya menelusuri kuratorial pemikiran dan penciptaan Kadek Koyo, akan saya telaah beberapa karya yang menjadi penanda kekuatan gagasannya yang sudah barang tentu beberapa lainnya memiliki nilai subjektivitas yang tidak kalah kuatnya. Persoalan kultural menjadi salah satu endapan kegelisahan yang selalu membayangi Kadek Koyo.Lahir dan tumbuh berkembang di desa Mas Ubud Bali, dia sudah meresapi berbagai dialektika kultural yang menyadarkannya atas benih-benih problematikanya. Ditambah lagi sentuhan budaya Jawa di Yogyakarta selama 12 tahun (semenjak kuliah mulai 2004 di Seni Lukis FSR ISI Yogyakarta) menguatkan lagi atas pengaruh kultural terhadap sikap dan etika hidup.  Seperti yang terurai dalam visual karya berjudul Ho-No-Co-Ro, bertahun 2016, persoalan kehidupan di Bali dan di Jawa kini mengalami problematik yang sama perihal pola pikir kultural atas keberadaan tanah waris. Modernitas dan konsumerisme menghadang pola pikir masyarakat atas pemenuhan kebutuhan tersebut.Alhasil berulang kali (disimbolkan dengan repitisi goresan bidang tanah) tanah warisan leluhur (pekarangan dan sawah) tergores, tersayat, terpotong-potong dan menjadi umpan kapitalis.Tampak sebidang tanah yang tersayat-sayat dan setumpukan jerami kering yang teronggok tersebar di selasar sawah.Tersamar dalam bayangan goresan warna tanah terdapat aksara Bali yang umumnya dibaca ‘a-na-ca-ra,…’ dan di Jawa dibaca ‘ho-no-co-ro,…’. yang menjadi pengingat bahwa setiap masalah ada solusinya “anacara(ne) dan honocoro(ne)” jika kita belajar pada falsafah kearifan lokal.

Ho-No-Co-Ro, 80 cm x 120 cm, cat minyak di kanvas, 2016

Ho-No-Co-Ro, bertahun 2016,

Ketertarikan Kadek Koyo atas isu global yakni globalisasi, menyoroti kondisi di mana isu dan masalah-masalah yang ada menyangkut kepentingan berbagai bangsa dan negara atau bahkan seluruh dunia.Kadek Koyo memiliki kesadaran global atas ‘deposit’ pikiran yang lebih kritis dalam menerima atau menanggapi isu-isu global berkaitan dengan aspek lingkungan hidup, teknologi, dan pergerakan ekonomi. Dalam karya Bercekcok Tanam, 2016, perluasan lahan yang menjadi objek bisnis besar pertanahan selalu menjadi sasaran kaum kapitalis. Sawah tidak lagi menanam padi tetapi menanam cakaran tiang beton.Pohon-pohon tidak lagi menjadi antena alam, tergantikan oleh julangan gedung pencakar langit.Ruang hijau alam dan lahan produktif telah gersang dan terluka oleh kemajuan jaman. Dan lagi-lagi, reproduksi ruang alam ini menghadirkan sengketa, pro-kontra seperti reklamasi maupun revitalisasi teluk baik di Bali dan kota lainnya di Indonesia.

Bercekcok Tanam, 100 cm x 100 cm, pensil, cat minyak di kanvas, 2016

karya Bercekcok Tanam, 2016

Berkaca pada dimensi keruangan yang menjadi refleksi atas aktivitas mengabstraksi tersebut, nampak jelas bagaimana Kadek Koyo sebagai perupa, memiliki kesadaran yang jelas akan realitas dan pemahaman aspek ‘ketidaksadaran’ yang menyeluruh terutama pada ruang-ruang imajinya. Abstraksi Beruang Meruangyang dihadirkan Kadek Koyo adalah semacam transkrip kultural yang dipenuhi oleh ornamen teks dan simbol-simbol etnik yang mengandung realitas universal. Inilah salah satu kehebatan perupa dalam membayangkan sesuatu yang tak kasat mata menjadi tampak, dari realitas menjadi abstrak tidak berwujud namun memiliki daya dobrak ‘harmoni spiritual’ mengarungidimensi lapisan nilai dan makna yang menyentuh.

Yogyakarta, 11 April 2016

 arya sucitra

I Gede Arya Sucitra
Pelukis dan dosen FSR ISI Yogyakarta

 

Lihat Karya Pameran Tunggal I Kadek Yudi Astawan