TWO BOUGH : Triana Nurmaria dan Rika Ayu

Jika ingin melihat  perkembangan seni rupa Indonesia, maka  lihatlah dari karya-karya para perupa mudanya. Ketika berhadapan dengan karya-karya perupa muda, seolah kita dihadapkan pada narasi panjang  yang susah untuk menemukan titik-koma dalam pembahasannya.  Tak terkecuali jika kita  dihadapkan pada karya-karya Triana Nurmaria dan Rika Ayu, dua mahasiswi Seni Lukis FSR ISI Yogyakarta yang sedang memulai petualangan artistik – estetiknya.   Keduanya sama-sama mengusung persoalan tubuh sebagai bahasa perupaannya, dimana melalui tubuh  seluruh gairah kehidupan, impian, harapan, juga ide-ide dan olah kreativitas terus bergulir, seolah terus mengembara tanpa pernah tahu kapan  dan dimana akan berlabuh.

Keduanya punya sudut pandang  yang berbeda walaupun sama-sama menghadirkan Tubuh untuk mewujudkan mimpi dan angan-angan secara visual dalam kanvasnya. Keduanyapun  sama-sama cukup berhasil dalam mengekspresikan kegelisahan menjadi  narasi visual yang cukup mengejutkan.  Dari catatan kecil di atas, dapat kita tarik premis awal, bahwa mereka berdua memiliki kegelisahan besar  dalam  kekaryaannya.

Tentu mereka menggenggam rasa optimisme yang kuat dibalik tubuhnya yang mungil. Proses petualangan cita rasa keduanya boleh dipahami sebagai sikap yang realistik, berani dan didukung kemauan yang kuat.  Yang menarik lagi ialah, mereka menyadari Proyeksi Tubuh adalah proses kesementaraan. Sebagai bagian dari laku tapa brata (bertapa menahan diri) dimasa proses sebagai Mahasiswa, tugasnya ialah belajar  untuk mencari kamulyan (kemuliaan hidup) dari pengetahuan yang di raih selama proses masa pendidikannya. Lalu, apakah keduanya akan memilih terus berkarya , atau memilih jalan lain. Kita tungggu bersama!

Melalui sebuah Pameran  yang diikat dengan tajuk TWO BOUGH di IndieArt House , Yogyakarta pada 20 – 30 April 2017, menjadi sebuah peristiwa seni  yang mempersoalkan masalah sosial melalui Tubuh sebagai bahasa perupaannya. Two Bough atau yang artinya dua cabang, dimana  Triana dan Rika akan memproyeksikan Tubuh untuk mengindikasikan adanya banyak konflik dalam perilaku sosial di sekitar dirinya. Sehingga keduanya sama-sama menunjukkan  bagaimana harus meletakkan tubuh atau dirinya dalam peradaban yang sedang mereka lalui. Mengungkap Two Bough dari 2 bahasa perupaan yang  sama-sama meminjam tubuh,  bisa kita cermati bagaimana Triana dan Rika mampu mengisahkan peran tubuh ditengah-tengah kondisi sosial secara kritis.

Ketertarikan Triana untuk mengeksplorasi gestur tubuh, dimana ia berusaha membaca gerak  tubuh walaupun lebih  merujuk pada  kegelisahannya sendiri. Garis dan brush stroke-nya yang spontan  dan kuat cukup mengisyaratkan betapa ia memiliki kepandaian artistik yang berani dalam mengolah identitas personal.  Triana mencoba menarasikan dirinya, dalam gerak-gerik yang sangat personal, ia berusaha memuculkan metafor di balik bahasa umum yang sudah mapan.

Selanjutnya Rika memainkan adegan-adegan figur dalam ruang  secara dramatik,  dimana bahasa tubuh setiap figur-figur yang ia tangkap kemudian ia suguhkan dalam bentuk potongan-potongan drama kehidupan. Rika seolah memunculkan ingatan-ingatan, kenangan-kenangan yang ia tangkap kemudian ia visualkan menjadi Lirik-lirik puitis bahasa tubuh mampu memprovokasi semangat untuk membaca dan memahami kekaryaan Rika secara utuh.

Karya-karya dua perupa perempuan yang kebetulan sama-sama tidak menunjukan  sisi feminimnya, tetapi setidaknya telah memberikankan ruang yang leluasa pada imajinasi kita semua, seperti halnya membangun dunia sebagai arena petualangan artistik bagi para apresian. Tentang proses kreatif  dari Triana dan Rika boleh kita fahami  dengan mencoba mengakrabi bau keringatnya,nafasnya, senyumnya, kata-katanya ternyata ada sekian banyak nilai  yang bisa kita petik dan kita fahami.

 

Studio Bodo, 5 April 2017

Yaksa Agus

Penulis yang fitrah sesungguhnya adalah pelukis